Kamis, 06 Desember 2012

Saat Gaji Terlunasi Ketika Tak Lagi Bisa Dinikmati

Gaji adalah suatu bentuk kompensasi atas suatu kerja keras yang telah dilakukan seseorang kepada orang lain ataupun suatu badan. Gaji merupakan hak, yang wajib diberikan setelah orang tersebut selesai menunaikan kewajibannya. Gaji juga merupakan modal untuk terus bertahan hidup di dunia yang semakin kejam ini, dimana uang adalah segalanya. Saat gaji tertunggak, maka hidup bagaikan diujung tanduk. Miris memang, namun perlakuan seperti inilah yang akhir-akhir ini sering dialami oleh para pemain sepakbola di Indonesia. Semakin menyedihkan, ketika gaji akhirnya dilunasi, namun kematian bagaikan sebagai syaratnya.

Membaca artikel dari VOA Indonesia yang berjudul Pendukung Persis Solo Demo Menyusul Kematian Pemain Asal Paraguay tanggal 4 Desember 2012, realita kembali terungkap, saat seorang pemain harus kehilangan nyawa ketika tak punya biaya untuk berobat, dan hal itu karena belum mendapat gaji yang merupakan haknya.

Almarhum Diego Mendieta
sumber: http://www.bolaindo.com/

Tentang Almarhum

Ia bernama Diego Antonio Mendieta Romero di Assuncion, lahir di Paraguay, 13 Juni 1980. Diego mempunyai seorang istri dan tiga anak yang semuanya tinggal di Paraguay. Dia merupakan mantan pemain Persis Solo, namun masih mempunyai hak berupa sisa gaji yang belum dibayar oleh Persis Solo versi PT Liga Indonesia sebesar Rp 84 juta yang merupakan 4 bulan gaji, juga sisa kontrak sebesar Rp 47 juta, sehingga totalnya mencapai 131 juta.

sumber: http://www.wartakotalive.com/

Meninggalnya Sang Pemain

Diego Mendieta meninggal pada Selasa dini hari, tanggal 4 Desmber 2012, disebabkan oleh virus dan jamur yang telah menyebar di tubuhnya. Virus yang bernama Cylomegalo terdeteksi telah menyerang mata dan merambat hingga ke bagian otak dibarengi dengan jamur jenis Candidiasis yang telah menyerang kerongkongan dan saluran pencernaan. Virus dan jamur tersebut telah menyebabkan daya tahan tubuh Diego terus melemah. 

Selain secara klinis, faktor psikologis juga berpengaruh terhadap kondisi kesehatan Diego, yang sering mengeluh kesepian karena seluruh kerabatnya berada di Paraguay.
"Diego pernah disuruh pulang sama istrinya, dibelikan tiket ke Paraguay, tapi dia malu karena belum dapat materi banyak di Indonesia." ungkap Pak Tun -divisi transportasi sekaligus penjaga mess Persis Solo
Diego Mendieta meninggal setelah sempat menjalani perawatan di RS Moewardi sejak 27 November 2012 lalu. Awal bulan November lalu, Diego dirawat di RSI Yarsis Solo dan didiagnosis menderita tifus, dirawat hingga sepekan. Tak sampai sepekan pulang dari rumah sakit, Diego kembali dirawat di rumah sakit RS PKU Muhammadiyah Solo lantaran kondisinya kembali melemah. Hampir sepekan dirawat pihak rumah sakit belum menemukan penyakit yang diderita Diego, sehingga dirujuk ke RSUD Moewardi.

Tak adanya biaya yang cukup membuat Diego telat melakukan pengobatan, dan harus terpaksa berhutang di rumah sakit saat kondinya telah sangat lemah.
Saat dirujuk ke sini [RS Moewardi] kondisi almarhum sudah melemah, badannya sudah turun 10 kilogram dan komunikasinya juga kurang lancar," kata Kepala Bagian Penyakit Dalam RS Prof Dr Moewardi, Guntur Hernawan.
Segala persoalan administrasi maupun biaya perawatan almarhum sendiri telah ditangani oleh agen yang mempekerjakannya bersama dengan Mantan Ketua Umum Persis Solo, FX Hadi Rudiatmo yang kini menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.

Kehidupan Sehari-hari Diego

Di Solo, Diego Mendieta hidup pas-pasan. Karena gajinya yang tak kunjung dibayar dia pun sering menunggak pembayaran sewa kosannya.

Istri dan Kedua Anak Diego
sumber: http://assets.kompas.com/data/photo/
Diego tinggal di kamar nomor 8 di lantai satu sebuah kos di Kampung Kalitan, Solo. Kamar itu berukuran 4 x 3,5 meter, dengan biaya sewa Rp 1.150.000 per bulan. Fasilitas yang ada hanyalah ranjang tunggal, mesin AC dan TV. Di atas TV terdapat foto istri Mendieta yang sedang merangkul anak-anak mereka. Di atas lemari kecil terdapat patung Bunda Maria dan sebuah salib, sedangkan di rak sepatu, terdapat tiga pasang sepatu bola dan beberapa pasang sandal, juga beberapa helai pakaian.

Selain membayar kos, dia juga kesulitan memperpanjang Visa dan KITAS karena tidak mampu membayar perpanjangannya. Jadi bisa dibayangkan, betapa besarnya tekanan mental yang justru semakin memperlemah daya tahan tubuhnya.
"Ia praktis ditelantarkan, satu-satunya bantuan yang ia terima adalah dari tiga kenalan asal Paraguay, tak ada lagi selain itu," ujar Valeria, istri Diego dalam wawancara kepada Radio Cardinal di Asuncion, Paraguay, yang dilansir Reuters.
Sungguh menyedihkan, sebuah klub yang masih mempunyai hutang kepada seorang "bekas" pemain, sama sekali tak memperhatikan kesejahteraan orang yang telah berjasa kepada mereka.

Peti jenazah dari Rumah Duka Thiong Ting, Solo
sumber: http://assets.kompas.com/data/photo/

Kisah Akhir yang Menyedihkan

Kekurangan pembayaran gaji akhirnya langsung ditransfer ke rekening istri Mendieta di Paraguay pada 5 Desember. Ya, lunas disaat sang pemain telah meninggal dunia dan tak dapat menikmati sepeserpun dari hasil kerja kerasnya. 

Jenazah sendiri akhirnya dipulangkan ke tanah airnya dengan pesawat melalui Bandara Adi Soemarmo, Solo, pada Rabu sore. Puluhan pendukung Persis Solo, Pasoepati, turut melepas kepergian jenazah. Pihak klub, PT Liga Indonesia, dan PSSI menyatakan bahwa mereka memfasilitasi kepulangan jenazah ini. Dan kita hanya bisa berkata, selamat jalan, Diego.


Dualisme Persepakbolaan Indonesia
sumber: http://rri.co.id/Upload/Berita/dualisme.jpg

Akibat Dualisme yang Tak Kunjung Usai? 

Banyak yang bilang dualisme di tubuh persepakbolaan Indonesia sebagai penyebab awal tragedi ini. Bagaimana bisa? Logikanya, Indonesia memiliki banyak klub sepakbola. Klub-klub ini terbagi dalam berbagai divisi. Bukan rahasia lagi bila tidak semua klub mampu mengatur financial mereka masing-masing yang dapat menjamin setiap pemain ataupun ofisialnya. Ketika klub-klub “kecil” menghadapi krisis financial seperti ini, dualisme di tubuh persepakbolaan Indonesia justru mencuat.

Dualisme ini menyebabkan klub-klub kecil dan besar pun terbagi-bagi. Klub-klub kecil yang sebelumnya ada di Divisi I, II, ataupun III milik PSSI berpindah ke liga milik KPSI. Akibatnya, ada kenaikan mobilitas di klub-klub milik PSSI ataupun KPSI. Konsekuensinya, klub-klub kecil yang mengalami kenaikan mobilitas ini, harus  mengeluarkan dana yang cukup besar agar mampu bersaing. Celakanya, financial klub seringkali mengalami kemacetan sehingga gaji para pemain dan ofisial harus tertunda.

Singkatnya, dualisme memunculkan banyak klub tetapi tanpa dukungan finansial yang memadai. Hal itu menyebabkan tidak sedikit pemain yang tak diurusi klub, seperti belum dibayar gajinya. Setiap klub berlomba-lomba mengontrak pemain asing, entah punya uang atau tidak.

Kasus Persis Solo terjadi karena klub ini hanya punya modal sekitar Rp 3 miliar, yang normalnya membutuhkan dana sebesar 20 miliar untuk menjadi klub yang berpondasi kuat. Seperti diakui manajemen klub, pihaknya menunggak gaji pemain karena pengelolaan anggaran yang minim tak sesuai dengan pengeluaran yang besar. Dengan modal seadanya, harapan memperoleh pemasukan tinggal angan belaka, karena hanya dapat mengandalkan tiket masuk yang tak seberapa.

Yang perlu dicatat,  kompetisi sepakbola di Indonesia masih banyak kekurangan, diantaranya:
  • Tak pernah dibangun berdasarkan studi kelayakan, tak ada riset dan kalkulasi berapa biaya minimal yang harus dikeluarkan sebuah klub untuk ikut kompetisi. 
  • Tak diketahui daerah mana yang pantas menyelenggarakan kompetisi di lapis satu-dua-tiga-dan seterusnya. 
  • Tak diperhitungkan apakah kota tertentu memiliki daya beli tiket dan souvenir klub. 
  • Tak ada aturan tentang siapa yang berhak punya klub dan tak ada aturan kepemilikan saham. 
  • Tak ada panduan bagaimana dan oleh siapa semestinya klub dikelola, bagaimana keamanan kompetisi diurus, bagaimana klub diberi arahan untuk menjaring dana/sponsor.

Semua hal diatas menyebabkan klub terbentuk asal-asalan alias "asal jalan", tanpa fondasi yang kuat, bagus, baik, dan benar. Padahal, kompetisi profesional selain berfungsi sebagai industri hiburan, juga sekaligus sebagai pembinaan sepak bola sebuah negeri. Tapi sepertinya, kedua fungsi ini diabaikan demi meraup untung beberapa pihak semata.

Kompetisi profesional bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dalam sistem sepak bola sebuah negara. Dia hanyalah puncak piramida pembinaan, yang butuh topangan dari bawah. Fondasi harus kuat, tatanan harus jelas. Dengan sebuah piramida, pengelola dan pelaku sepak bola menjadi paham di mana peta mereka dan ke mana tujuan. Tanpa itu semua persepakbolaan Indonesia menjadi sulit dan mungkin tidak akan pernah berprestasi.

Sudah saatnya PSSI membuat cetak biru piramida pembinaan dan pengelolaan sepak bola dengan membuat liga berjenjang yang dijalankan dengan teratur dan konsisten. Perhitungan hak dan kewajiban setiap pelaku dalam industri industri ini juga harus diperhatikan. Jangan biarkan lagi klub amatir dengan sumber dana yang tak jelas bisa dengan mudah mengikuti liga profesional.

Namun, sebelum mencapai kesana, tentu Menpora harus tegas untuk segera menyelesaikan dualisme yang tak kunjung usai ini. Menpora selaku pimpinan tertinggi berhak untuk mengeluarkan keputusan, yang tentu dapat diterima semua pihak. Dengan berakhirnya dualisme ini, tentu akan membuat persepakbolaan Indonesia kembali fokus, dan menjadi industri yang menguntungkan bagi kejayaan republik ini sendiri.

Asosiasi Pemain Professional Internasional
sumber: http://bolanewz.files.wordpress.com/

Dampak Wajah Indonesia Dimuka Internasional

Jelas, kabar ini kembali meruntuhkan kepercayaan dunia terhadap persepakbolaan Indonesia. Krisis dualisme yang belum juga berakhir malah ditambah dengan mencuatnya kasus ini hingga terdengar secara internasional.
Tak diragukan lagi, karena orang asing secara langsung terlibat dalam kasus ini.

Kabar meninggalnya Diego Mendieta telah sampai ke markas asosiasi pemain profesional internasional atau The Federation Internationale des Associations de Footballeurs Professionnels (FIFPro). Mereka terkejut dan akan melaporkan kasus ini ke FIFA.
"Saya tahu banyak cerita pemain yang tidak dibayarkan gajinya oleh klub-klub mereka, dan harus menunggu sampai berbulan-bulan. Tapi saya tak pernah mendengar kisah seperti ini, di mana ada seorang pemain sakit parah tapi dibiarkan begitu saja oleh klubnya." ujar Sekjen FIFPro Divisi Asia, Frederique Winia.
Atas kejadian ini, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) mendapatkan perintah dari Menpora untuk melakukan penyelidikan, dan akhirnya memutuskan akan memberi sanksi kepada Persis berupa pelarangan mengikuti kompetisi sampai waktu yang belum ditentukan.
"Kami memutuskan untuk memberikan sanksi kepada Persis Solo, tidak boleh ikut kompetisi apapun. Meski baru secara lisan, tapi ini keputusan yang sudah sangat prinsip." ujar Plt Ketua Umum BOPI Haryo Yuniarto.
Memang, yang berlalu biarlah berlalu, sambil terus berharap agar kejadian memalukan seperti ini takkan pernah terulang kembali. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua kalangan yang terkait, sehingga dapat memajukan persepakbolaan Indonesia menjadi lebih baik, yang siap bersaing di kancah internasional. Tak lupa, penulis mengucapkan turut berbelasungkawa, terutama kepada keluarga yang ditinggalkan. Semoga engkau tenang disana, Diego.

Sebagai penutup, berikut ini keinginan terakhir Diego yang ditulis dengan tinta merah dan dipajang sebagai gambar identitas akun BlackBerry Messenger beberapa pemain serta pelaku sepak bola:
 Gak minta gaji Full
Aku
Cuma minta tiket pesawat
Biar bisa pulang
Ketemu MAMAH
Dan
Mati di negara saya
RIP#Diego Mendieta
Tulisan ini diikutkan dalam kompetisi blog VOA Indonesia, dengan berbagai referensi tulisan dari:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar